Hampir seumur hidup ini sering sekali meyakini bahwa apa yang sulit di tangan saya begitu mudah terbentuk di tangan orang lain. Kebodohan yang terus saja berulang hingga waktu ini. Yang tak jarang membuat saya melewatkan begitu banyak kesempatan dalam hidup, begitu banyak kesempatan untuk lebih bahagia dari hari ini.
Entah mengapa kerap sekali merasa bahwa kata “pujian” tidak lah tercipta untuk saya. Setiap kali ada yang memuji lalu kemudian saya menjadi takut untuk berdiri. Bodoh memang, tapi nyatanya itu ‘masih’ saja terjadi.
Seringkali merasa tak cukup cantik untuk dibilang cantik, merasa tak cukup pintar untuk dikatakan pintar, merasa tak cukup baik untuk dikatakan baik. Lalu saya bertemu orang lain yang kemudian mengatakan hal yang sama. Dan nyatanya kita semua sama. Selalu merasa tidak cukup untuk dikatakan cukup.
Bicara tentu lebih mudah dari prakteknya. Dan saya pun masih saja sering menjilat kembali setiap kata bijak yang saya tuliskan untuk orang lain. Menjadi diri sendiri tidak pernah mudah, tapi itu mungkin karena kita terlalu sibuk mencoba menjadi orang lain.
Saya tidak pernah suka kata ‘sempurna’. Karena untuk saya, sempurna adalah sesuatu yang tidak tercipta untuk ada di dunia ini. Mengejarnya adalah sebuah kebodohan yang nyata. Kita hidup untuk menjadi lengkap, bukan sempurna. Bahkan seorang buta pun lengkap dengan kebutaannya.
Tuhan tidak pernah memberikan kesia-siaan dalam hidup. Setiap yang kau nilai kekurangan yang ada padamu adalah sebuah keistimewaan yang membuatmu ‘berbeda’ dengan makhluk lain. Bukan pula salahmu jika ada orang-orang yang tidak siap menerima perbedaan. Tapi untuk saya, tidak ada alasan untuk takut menjadi diri sendiri, walau pun saya masih takut.
Kita melihat. Kita mempelajari. Kita memperbaiki. Kita melengkapi.
Jangan takut. Karena aku pun tekadang takut. Untuk merasa cukup untuk dikatakan cukup oleh kalian.
Tulisan yang bagus. Jarang saya bisa menemukan seorang anak remaja bisa begini bijak.
ReplyDeleteIngat kata-kata Descartes: cogito, ergo sum. Hanya dengan berpikir kita bisa menunjukkan eksistensi kita, keberadaan kita.
Sering saya melihat remaja-remaja tenggelam dalam nafsunya sendiri, tidak berpikir logis apalagi kritis.
Omong-omong saya teringat ungkapan "pena lebih tajam daripada pedang." Apakah kamu tertarik untuk menjadikan tulisan-tulisanmu sebagai alat perjuangan? Membebaskan orang-orang miskin, tertindas, dan menderita?
Semoga ditambahkan-Nya berkat terbaik kepadamu, wahai filsuf cilik.
Gery Respati, aktivis