the fighter

My photo
I'm far away from perfection but I'm perfectly who I am. Being 17 going to be 18 is not easy sometimes. I found myself a stubborn, rebellious, and sensitive person. but i guess it's because I'm human, with heart. My passion is to chase my dreams

Tuesday, January 24, 2012

bukan karena sebuah konflik

Sudah berapa lama kita tak saling tegur sapa? Dua jam? Dua hari? Dua minggu? Dua tahun. Aku tak benar-benar pandai menghitung. Dari awal aku juga tak memberi lingkaran dalam angka-angka kalenderku. Mungkin dalam bahasa Indonesia, waktu aku tidak menghubungimu itu diterjemahkan sebagai : lama sekali.

Kita menjadi jauh karena sebuah konflik? Ah, aku tak pernah menyebutnya seperti itu. Aku lebih suka mengibaratkan kita sebagai dua anak kecil yang berjalan berdua, bergandengan tangan untuk membeli sebuah es krim. Lalu di tengah jalan tiba-tiba ada jalan yang bercabang. Seorang di antara mereka bilang, bahwa penjual es krim itu berada di belokan jalan yang ke kanan, sementara seorang yang lain bilang bahwa penjual es krim itu letaknya di belokan jalan sebelah kiri. Mereka sama-sama yakin, bahwa pendapat mereka adalah yang paling benar. Mereka sama-sama keras kepala. Maka kedua anak itupun berpisah. Satu menuju kanan, satu lagi belok kiri. Sampai saat ini, kedua anak itu tak kembali ke jalan yang sama lagi.

Sejak saat itu, kita berlomba-lomba untuk saling melebarkan jarak. Seolah ada juri tak terlihat, yang membuat peraturan bahwa orang yang menyapa duluan adalah orang yang kalah.

Tapi pagi ini, semacam ada suara ghaib yang memenuhi kepalaku, (mungkin suara jin rumah) bahwa aku harus segera menghubungimu, menanyakan kabarmu, lalu menjadi wartawan yang memberondongmu dengan pertanyaan-pertanyaan tak penting tentang apa yang telah kau lakukan akhir-akhir ini. Layar-layar ghaib juga dibentangkan di kepalaku, lalu diputarnya adegan-adegan lucu kita dulu. Tentang perburuan baju bergaya hip-hop ke pasar-pasar loak, tapi tak juga ketemu, dan kita malah makan ketoprak di pinggir pasar yang rasanya tak terlalu enak. Tentang kencan-kencan tak romantis kita di stasiun. Tentang pengalamanmu naik busway pertama kali, lalu kau bilang kau malu. Ah. Betapa norak kita waktu itu.

Baiklah, aku harus melakukan pekerjaan berat pagi ini. Berbuat jujur pada diri sendiri. Jujur bilang pada diri sendiri bahwa aku rindu kamu. Tiba-tiba mengkhawatirkanmu. Terserah kau mau bilang apa. Mungkin kau akan bilang bahwa aku telah kalah menahan rinduku atau entah apa yang akan kau ucapkan, tapi dalam kamus baru ciptaanku, pemenang adalah orang yang ketika ada acara diam, dia yang lebih dulu menghancurkan gunung es, dengan menyapanya.

Sekarang kuambil handphoneku yang dingin. Masuk ke menu, mencari phone book, memasukkan huruf depan namamu lalu pencet “search”. Sambil menunggu handphone bekerja mencari namamu, maka aku menikmati degup jantungku yang makin cepat. Degup jantung yang menerka-nerka apa reaksi yang terjadi padamu ketika aku menelponmu. Tak akan mengangkatnya, menanggapi dengan dingin, atau gembira sekali, tapi berlagak sok adem-adem saja.

Nah! Namamu sudah ditemukan, sekarang tinggal pencet “panggil”, lalu kutempelkan handphone dingin itu di telingaku. Jantung semakin pintar menabuh gendang. Suara bertalu-talu, kecepatan berpacu. Lalu tiba-tiba menjadi suara yang pelan dan lirih saat seseorang yang tak kukenal di luar sana bilang :
“nomor yang anda tuju sedang tidak aktif, cobalah hubungi beberapa saat lagi”
berkali-kali. Lebih dari tiga kali.

Mas, mas.. Sepertinya kau dan nomor telponmu telah mati pagi ini.

No comments:

Post a Comment