Kami adalah jalan jalan berlubang sepanjang kampung menuju kota.
Melewati jargon jargon, birokrasi dan permainan permainan yang tak kami pahami.
Kami adalah kaki kaki kotor penuh lumpur.
Melangkah ke negeri dongeng dalam cerita
moyang kami.
Tapi tersumbat headline koran, drama negara,
dan acara televisi.
Kami adalah suara bimbang paling sumbang
dari gang-gang sempit. Dari rumah rumah bambu.
Ingin menyusup ke telingamu, tapi keburu dihadang kenaikan harga, pembohongan publik, dan skandal seks remaja.
Kami adalah hak yang memenuhi rekening
moralmu.
Yang bisa saja meledak sewaktu waktu jika tak segera kau tuntaskan seluruh wajibmu!
Tertanda,
Anak bangsa
the fighter

- hanna tesalonika saputri :D
- I'm far away from perfection but I'm perfectly who I am. Being 17 going to be 18 is not easy sometimes. I found myself a stubborn, rebellious, and sensitive person. but i guess it's because I'm human, with heart. My passion is to chase my dreams
Saturday, January 28, 2012
Friday, January 27, 2012
Bumi dan langit
Jalan kita memang berbeda Mas,
jika kau berjalan ke utara, maka aku berjalan ke selatan.
jika kau bergerak ke barat, maka aku bergerak ke timur.
Memang dunia kita berbeda, dan akan terus berbeda.
Seperti berbedanya elang yang terbang tinggi, dengan paus di dasar lautan.
Tak sama Mas, tak sama.
Aku melaju dijalan mimpiku yang terkadang terdengar semu,
dan kau melaju di mimpimu, yang terkadang sendu, kadang pilu.
Aku tahu kau bagian dari mimpi-mimpiku,
tapi dirimu hanya bagian mimpiku yang terdengar sendu,
tapi malam bukan hanya malam ini, aku bisa bermimpi lagi,
Kubaca saja buku untuk hilangkan engkau dari tidurku,
aku bisa bermimpi lagi, malam ini.
Asal kau tahu, bukan tentang bayangmu, akan tetapi bayang diriku.
jika kau berjalan ke utara, maka aku berjalan ke selatan.
jika kau bergerak ke barat, maka aku bergerak ke timur.
Memang dunia kita berbeda, dan akan terus berbeda.
Seperti berbedanya elang yang terbang tinggi, dengan paus di dasar lautan.
Tak sama Mas, tak sama.
Aku melaju dijalan mimpiku yang terkadang terdengar semu,
dan kau melaju di mimpimu, yang terkadang sendu, kadang pilu.
Aku tahu kau bagian dari mimpi-mimpiku,
tapi dirimu hanya bagian mimpiku yang terdengar sendu,
tapi malam bukan hanya malam ini, aku bisa bermimpi lagi,
Kubaca saja buku untuk hilangkan engkau dari tidurku,
aku bisa bermimpi lagi, malam ini.
Asal kau tahu, bukan tentang bayangmu, akan tetapi bayang diriku.
Tuesday, January 24, 2012
bukan karena sebuah konflik
Sudah berapa lama kita tak saling tegur sapa? Dua jam? Dua hari? Dua minggu? Dua tahun. Aku tak benar-benar pandai menghitung. Dari awal aku juga tak memberi lingkaran dalam angka-angka kalenderku. Mungkin dalam bahasa Indonesia, waktu aku tidak menghubungimu itu diterjemahkan sebagai : lama sekali.
Kita menjadi jauh karena sebuah konflik? Ah, aku tak pernah menyebutnya seperti itu. Aku lebih suka mengibaratkan kita sebagai dua anak kecil yang berjalan berdua, bergandengan tangan untuk membeli sebuah es krim. Lalu di tengah jalan tiba-tiba ada jalan yang bercabang. Seorang di antara mereka bilang, bahwa penjual es krim itu berada di belokan jalan yang ke kanan, sementara seorang yang lain bilang bahwa penjual es krim itu letaknya di belokan jalan sebelah kiri. Mereka sama-sama yakin, bahwa pendapat mereka adalah yang paling benar. Mereka sama-sama keras kepala. Maka kedua anak itupun berpisah. Satu menuju kanan, satu lagi belok kiri. Sampai saat ini, kedua anak itu tak kembali ke jalan yang sama lagi.
Sejak saat itu, kita berlomba-lomba untuk saling melebarkan jarak. Seolah ada juri tak terlihat, yang membuat peraturan bahwa orang yang menyapa duluan adalah orang yang kalah.
Tapi pagi ini, semacam ada suara ghaib yang memenuhi kepalaku, (mungkin suara jin rumah) bahwa aku harus segera menghubungimu, menanyakan kabarmu, lalu menjadi wartawan yang memberondongmu dengan pertanyaan-pertanyaan tak penting tentang apa yang telah kau lakukan akhir-akhir ini. Layar-layar ghaib juga dibentangkan di kepalaku, lalu diputarnya adegan-adegan lucu kita dulu. Tentang perburuan baju bergaya hip-hop ke pasar-pasar loak, tapi tak juga ketemu, dan kita malah makan ketoprak di pinggir pasar yang rasanya tak terlalu enak. Tentang kencan-kencan tak romantis kita di stasiun. Tentang pengalamanmu naik busway pertama kali, lalu kau bilang kau malu. Ah. Betapa norak kita waktu itu.
Baiklah, aku harus melakukan pekerjaan berat pagi ini. Berbuat jujur pada diri sendiri. Jujur bilang pada diri sendiri bahwa aku rindu kamu. Tiba-tiba mengkhawatirkanmu. Terserah kau mau bilang apa. Mungkin kau akan bilang bahwa aku telah kalah menahan rinduku atau entah apa yang akan kau ucapkan, tapi dalam kamus baru ciptaanku, pemenang adalah orang yang ketika ada acara diam, dia yang lebih dulu menghancurkan gunung es, dengan menyapanya.
Sekarang kuambil handphoneku yang dingin. Masuk ke menu, mencari phone book, memasukkan huruf depan namamu lalu pencet “search”. Sambil menunggu handphone bekerja mencari namamu, maka aku menikmati degup jantungku yang makin cepat. Degup jantung yang menerka-nerka apa reaksi yang terjadi padamu ketika aku menelponmu. Tak akan mengangkatnya, menanggapi dengan dingin, atau gembira sekali, tapi berlagak sok adem-adem saja.
Nah! Namamu sudah ditemukan, sekarang tinggal pencet “panggil”, lalu kutempelkan handphone dingin itu di telingaku. Jantung semakin pintar menabuh gendang. Suara bertalu-talu, kecepatan berpacu. Lalu tiba-tiba menjadi suara yang pelan dan lirih saat seseorang yang tak kukenal di luar sana bilang :
“nomor yang anda tuju sedang tidak aktif, cobalah hubungi beberapa saat lagi”
berkali-kali. Lebih dari tiga kali.
Mas, mas.. Sepertinya kau dan nomor telponmu telah mati pagi ini.
Kita menjadi jauh karena sebuah konflik? Ah, aku tak pernah menyebutnya seperti itu. Aku lebih suka mengibaratkan kita sebagai dua anak kecil yang berjalan berdua, bergandengan tangan untuk membeli sebuah es krim. Lalu di tengah jalan tiba-tiba ada jalan yang bercabang. Seorang di antara mereka bilang, bahwa penjual es krim itu berada di belokan jalan yang ke kanan, sementara seorang yang lain bilang bahwa penjual es krim itu letaknya di belokan jalan sebelah kiri. Mereka sama-sama yakin, bahwa pendapat mereka adalah yang paling benar. Mereka sama-sama keras kepala. Maka kedua anak itupun berpisah. Satu menuju kanan, satu lagi belok kiri. Sampai saat ini, kedua anak itu tak kembali ke jalan yang sama lagi.
Sejak saat itu, kita berlomba-lomba untuk saling melebarkan jarak. Seolah ada juri tak terlihat, yang membuat peraturan bahwa orang yang menyapa duluan adalah orang yang kalah.
Tapi pagi ini, semacam ada suara ghaib yang memenuhi kepalaku, (mungkin suara jin rumah) bahwa aku harus segera menghubungimu, menanyakan kabarmu, lalu menjadi wartawan yang memberondongmu dengan pertanyaan-pertanyaan tak penting tentang apa yang telah kau lakukan akhir-akhir ini. Layar-layar ghaib juga dibentangkan di kepalaku, lalu diputarnya adegan-adegan lucu kita dulu. Tentang perburuan baju bergaya hip-hop ke pasar-pasar loak, tapi tak juga ketemu, dan kita malah makan ketoprak di pinggir pasar yang rasanya tak terlalu enak. Tentang kencan-kencan tak romantis kita di stasiun. Tentang pengalamanmu naik busway pertama kali, lalu kau bilang kau malu. Ah. Betapa norak kita waktu itu.
Baiklah, aku harus melakukan pekerjaan berat pagi ini. Berbuat jujur pada diri sendiri. Jujur bilang pada diri sendiri bahwa aku rindu kamu. Tiba-tiba mengkhawatirkanmu. Terserah kau mau bilang apa. Mungkin kau akan bilang bahwa aku telah kalah menahan rinduku atau entah apa yang akan kau ucapkan, tapi dalam kamus baru ciptaanku, pemenang adalah orang yang ketika ada acara diam, dia yang lebih dulu menghancurkan gunung es, dengan menyapanya.
Sekarang kuambil handphoneku yang dingin. Masuk ke menu, mencari phone book, memasukkan huruf depan namamu lalu pencet “search”. Sambil menunggu handphone bekerja mencari namamu, maka aku menikmati degup jantungku yang makin cepat. Degup jantung yang menerka-nerka apa reaksi yang terjadi padamu ketika aku menelponmu. Tak akan mengangkatnya, menanggapi dengan dingin, atau gembira sekali, tapi berlagak sok adem-adem saja.
Nah! Namamu sudah ditemukan, sekarang tinggal pencet “panggil”, lalu kutempelkan handphone dingin itu di telingaku. Jantung semakin pintar menabuh gendang. Suara bertalu-talu, kecepatan berpacu. Lalu tiba-tiba menjadi suara yang pelan dan lirih saat seseorang yang tak kukenal di luar sana bilang :
“nomor yang anda tuju sedang tidak aktif, cobalah hubungi beberapa saat lagi”
berkali-kali. Lebih dari tiga kali.
Mas, mas.. Sepertinya kau dan nomor telponmu telah mati pagi ini.
Friday, January 20, 2012
Sebait doa di hari istimewa sahabatku
![]() |
Aku dan sahabat terbaikku |
Pertama kali bertemu denganmu adalah di suatu pagi yang riuh dengan berseragam putih abu-abu pertama kali. Aku dan kamu saling tak mengenal, layaknya orang asing yang lalu lalang. Saat itu aku bahkan tak ingin mengenal kamu siapa atau bahkan untuk sekedar tahu namamu saja aku malas. Di antara sekian banyak siswa/i entah apa yang menyatukan kita dalam kelas yang sama. Hari itu aku ingat sesosok lelaki berwibawa memerintahkan kita untuk melukiskan impian di kanvas masa depan. Rencana kecil dengan impian besar. Di atas karton kita mulai melukiskan impian kita masing-masing. Ah... Aku mulai memperhatikanmu karena ternyata kamu punya jiwa seni yang hebat. Aku suka akan setiap garis tinta yang kau goreskan di atas karton itu. Untukku itu gambar yang hebat.Teman memberimu senyuman, tapi sahabat memberikan kebahagiaan.
Teman suatu saat akan menceritakan yang tidak benar tentang dirimu, tapi sahabat akan menjaga dengan baik rahasia-rahasiamu.
Seribu teman datang di saat kamu tertawa bahagia, tapi seorang sahabat akan datang saat kamu berderai air mata.
Kita menjalani masa putih abu-abu itu dengan biasa. Kamu sebagai kamu dan aku sebagai aku. Sekedar tahu, namun tak saling mengenal lebih dalam. Aku tahu kamu hanya dari cerita seorang teman. Kala itu ia begitu mengagumimu. Ia bercerita bagaimana kalian saling berbalas pesan singkat dan mengekspresikannya dengan begitu rupa, untuk menggambarkan kebahagiaan hatinya karena bisa dekat denganmu orang yang ia kagumi. Betapa lucunya kalian berdua hari itu, ingin saling bertemu di tempat yang sama-sama baru untuk kalian. Wong deso sebutan yang pas kali itu untuk kalian.
Berlalu dengan cepat, kita pun mulai akrab. Meriuhkan sebuah kelas yang berisi 24 siswa. Di tengah keakrabanku denganmu, aku dengar seorang teman -yang kini menjadi sahabat baikku- ada yang naksir kamu. Rasanya aku harus segera menjaga perasaannya. Aku memutuskan untuk menjaga jarak denganmu.
Siapa sangka aku dan kamu 3 tahun berada di kelas yang sama. Ah tapi aku tak pernah menyesal sedikitpun sekelas denganmu. Aku ingat kita semakin dekat saat kelas 11, tepatnya saat mantanku memutuskan untuk putus sekolah. Aku dan kamu saling bertukar cerita. Saling menjadi saksi untuk peristiwa-peristiwa penting. Tempat bertukar cerita dan pendapat. Aku merasa nyaman membagi hidupku denganmu. Tampaknya aku menemukan sesosok teman pria baru yang mengerti aku.
Karena begitu dekatnya aku dan kamu, tak heran banyak teman berprasangka kita sama-sama memendam rasa satu sama lain. Itu lucu bukan? Kebanyakan orang hanya menangkap dari apa yang dilihat dan didengarnya tanpa tahu makna sebenarnya. Ah sudahlah.. Aku tahu mereka hanya iri karena tak bisa mempunyai sahabat yang baik sepertimu. Yang pasti aku tahu, aku menyayangimu sebagai sahabatku. Kuharap kau pun begitu..
Aku punya kehidupanku sendiri dengan pria yang kucintai dan kamu pun demikian dengan wanita idamanmu itu. Kita hanya saling membagi suka dan duka bersama. Memang kamu lebih mengerti aku dibandingkan dengan pria yang kucintai. Benar yang orang bilang, sahabat jauh lebih mengerti dibandingkan dengan siapapun yang terdekat, sekalipun keluarga atau kekaih. Sekarang aku mengerti kenapa karena dengan sahabat kita bisa jadi diri sendiri tanpa perlu ada yang disembunyikan. Dan kamu tahu? Aku temukan itu di dalam dirimu. Seorang sahabat priaku. Dulu aku sempat punya sahabat pria, -ah tapi sampai detik di mana aku menuliskan postingan ini pun aku masih menganggapnya seorang sahabat terbaik yang kupunya, aku masih mengasihinya- Sayang pun merubah wujudnya menjadi cinta antara pria dan wanita. Ya.. Aku dan dia sama-sama jatuh cinta. Perlu diingat, merubah kekasih jadi sahabat seperti semula tidak semudah merubah sahabat jadi seorang kekasih.
Karena hal itu, aku kehilangan sesosok sahabat pria terbaikku. Tapi siapa sangka Tuhan pertemukan aku denganmu, seorang pria yang mengertiku. Memang dia tak akan tergantikan olehmu. Tapi kamu tetap sahabat pria (baru) yang baik bagiku.
Di hari istimewamu ini, aku merasa sangat besalah karena aku tak sedikitpun ingat hari ulang tahunmu . Ah rasanya aku sahabat yang paling jahat. Sampai-sampai kau harus memberitahuku dulu untuk menyadarkanku. Malu sungguh.. -Eh tapi aku hanya pura-pura lupa kok sebenarnya, ini hanya alibi untuk mengurangi rasa bersalah dan maluku terhadapmu haha-
Yehuda Hizkia AC, aku mengagumimu begitu rupa untuk kesabaranmu menghadapi lelucon teman-teman yang menurutku sebenarnya adalah hinaan. Aku mengagumimu untuk kerendahan hatimu. Aku mengagumimu karena kamu orang yang berprinsip untuk tidak terjebak dalam pergaulan yang salah, walau sekelilingmu menawarkan banyak hal yang tidak baik. Di harimu yang istimewa ini, aku sengaja membuat postingan ini untuk sekedar menunjukan pada dunia betapa aku bersyukur punya sahabat terbaik sepertimu :)
Di hari ulang tahunmu kali ini, engkau semakin berarti, meski ucapanku ini tak begitu berarti, tapi engkau selalu membuatnya berarti dalam persahabatan kita. Tetapkanlah hari-hari hidupmu untuk lebih berarti lagi bagi keluarga, sesama dan Tuhan. Doaku menyertaimu.Salam sahabat☺
Tuesday, January 3, 2012
merasa cukup, bukan sempurna
Hampir seumur hidup ini sering sekali meyakini bahwa apa yang sulit di tangan saya begitu mudah terbentuk di tangan orang lain. Kebodohan yang terus saja berulang hingga waktu ini. Yang tak jarang membuat saya melewatkan begitu banyak kesempatan dalam hidup, begitu banyak kesempatan untuk lebih bahagia dari hari ini.
Entah mengapa kerap sekali merasa bahwa kata “pujian” tidak lah tercipta untuk saya. Setiap kali ada yang memuji lalu kemudian saya menjadi takut untuk berdiri. Bodoh memang, tapi nyatanya itu ‘masih’ saja terjadi.
Seringkali merasa tak cukup cantik untuk dibilang cantik, merasa tak cukup pintar untuk dikatakan pintar, merasa tak cukup baik untuk dikatakan baik. Lalu saya bertemu orang lain yang kemudian mengatakan hal yang sama. Dan nyatanya kita semua sama. Selalu merasa tidak cukup untuk dikatakan cukup.
Bicara tentu lebih mudah dari prakteknya. Dan saya pun masih saja sering menjilat kembali setiap kata bijak yang saya tuliskan untuk orang lain. Menjadi diri sendiri tidak pernah mudah, tapi itu mungkin karena kita terlalu sibuk mencoba menjadi orang lain.
Saya tidak pernah suka kata ‘sempurna’. Karena untuk saya, sempurna adalah sesuatu yang tidak tercipta untuk ada di dunia ini. Mengejarnya adalah sebuah kebodohan yang nyata. Kita hidup untuk menjadi lengkap, bukan sempurna. Bahkan seorang buta pun lengkap dengan kebutaannya.
Tuhan tidak pernah memberikan kesia-siaan dalam hidup. Setiap yang kau nilai kekurangan yang ada padamu adalah sebuah keistimewaan yang membuatmu ‘berbeda’ dengan makhluk lain. Bukan pula salahmu jika ada orang-orang yang tidak siap menerima perbedaan. Tapi untuk saya, tidak ada alasan untuk takut menjadi diri sendiri, walau pun saya masih takut.
Kita melihat. Kita mempelajari. Kita memperbaiki. Kita melengkapi.
Jangan takut. Karena aku pun tekadang takut. Untuk merasa cukup untuk dikatakan cukup oleh kalian.
yang enggan engkau lepaskan
Merelakan apa yang begitu kita inginkan. Ya, menyakitkan. Sakitnya tak hanya cukup sehari dua hari. Terkadang terbawa sampai mati.
Seperti kalian, tentu aku sering kali merasakannya, walau tak setiap waktu. Tapi entah mengapa, merelakan apa yang begitu dinginkan—tak pernah mampu terbiasa mengalaminya. Selalu saja berhasil membuatku menangis lagi, dan lagi. Aku benci ketika mengalaminya, kemudian kembali mempertanyakan kemampuan diri sendiri, mempertanyakan soal usaha yang telah dikerahkan. Dan bagian yang paling kubenci, mempertanyakan sayang Tuhan, padaku. Sungguh aku benci bagian yang itu. Aku benci ketika aku mulai mempertanyakan apa yang Dia beri padaku.
Seseorang harus mendengar keluhanku kemudian, rengekkan sumbang. Ya, mereka adalah sahabat. Ingin selalu bisa menceritakan yang baik-baik saja, tapi kembali lagi menyampah hal yang sama. Gagal, terkadang gagal membuatku menjadi manusia yang paling menyebalkan yang mampu kalian temui. Dan aku seringkali memilih untuk menyimpan kegagalanku sendiri. Memasukkannya dalam laci dan berharap kemudian mereka hilang begitu saja.
Saat kecil, ketika aku tidak mendapatkan apa yang kuinginkan. Aku akan merengek seharian lalu kemudian ibuku lelah mendengarnya dan menjadikannya nyata. Ibu, bisa jadi seperti Tuhan dalam wajah lain. Mengalah pada harapan anak-anaknya, walau belum tentu baik. Tetapi Tuhan tidak selemah mereka. Tuhan selalu hanya memiliki satu keputusan, bagaimana kau mampu menggoyahkanNya. Ketika kau bahkan tak tau apa yang sedang Dia persiapkan untukmu. Manusia cenderung sok tau. Dan Tuhan tak suka didahului keputusanNya. Kurasa ya, kurasa Tuhan tidak suka.
Ya, ini soal merelakan apa yang begitu kau inginkan. Tak melulu soal cinta, tak melulu urusan hati. Mereka walau butuh waktu, tapi akan sembuh kemudian berlalu. Tapi ketika kau harus merelakan impianmu, sebagian dari isi tujuan hidupmu. Ceritanya menjadi lebih dramatis. Menjadi tak cukup habis dalam satu episode saja. Atau bahkan akan menjadi film yang tak terselesaikan, yang bagian endingnya hanya memunculkan pertanyaan di benak penonton. Tapi aku sedang tidak menonton, aku lah yang menjalaninya. Aku ingin penonton pulang tanpa pertanyaan, dan kemudian aku terselesaikan. Katanya, film yang menggantungkan benak penontonnya, adalah film keren. Tapi siapa yang ingin cerita hidupnya digantungkan. Pernah kah kalian pikirkan nasib tokoh yang ada di dalamnya. Menyedihkan.
Aku memilih untuk terus berjalan. Memang ada pilihan lain? Mati pun aku tak berani, menjadi seonggok jasad yang kehujanan di dalam tanah basah bukanlah hal keren. Aku belum mau mati, tentu aku masih ingin dicintai dan menghidupi hidupku ini.
Aku sedang mencoba merelakan apa yang begitu aku inginkan, dulu aku mampu merelakan yang lain, maka kenapa yang ini tidak? Aku tentu akan merelakannya, aku hanya butuh waktu --- aku butuh mereka. Mereka saja, mereka yang mampu membereskan segalanya.
Ini adalah tentang sesuatu yang begitu enggan kau lepaskan.
Semoga Tuhan tidak (lagi lagi) membaca tulisan ini. Dia sudah cukup bosan mendengarnya dari dalam hatiku. Melebihi berkali-kali.
Lelah
Ketika sesuatu tak berjalan sesuai harapanmu. Ketika harapan tak berubah menjadi kenyataan. Kau merasakan ingin berhenti sejenak untuk bernapas.
Ketika kau telah berjalan begitu jauh untuk sesuatu dan ternyata tujuanmu tak juga terlihat. Kau terus berjalan tetapi terus juga menyadari bahwa yang benar-benar kau inginkan ternyata bukan hal ini. Kau menengok kebelakang dan begitu banyak kesempatan lain yang terlanjur kau sisihkan.
Ketika kau mencintai seseorang dengan sangat kuat. Kau dikecewakan dan kau memaafkannya lagi. Dan itu ternyata menjadi lingkaran yang tak pernah terputus. Dikecewakan dan memaafkan. Dikecewakan dan memaafkan kembali. Hingga suatu hari ketika terbangun di pagi buta, kau teringat cinta pertamamu yang tak pernah mengecewakan. Dan kau menghilangkannya tanpa pikir panjang.
Ketika kau berusaha tampil baik di depan semua orang. Kau ukir senyum terbaik di hari yang gerimis dan kau benci gerimis. Ironis. Ketika kau berusaha memeluk kucing bosmu dan kau alergi kucing. Kau berusaha menelan kopi di setiap meeting dan kau memuntahkannya kembali di kamar mandi.
Lelah kawan. Terkadang kita merasa lelah untuk sesuatu yang sedang kita perjuangkan. Tapi jangan berhenti berharap—karena kau akan mati.
Mengalah..
Hal yang mungkin saja selalu kau sisihkan ketika terpikirkan, karena kamu merasa harus melakukannya. Kamu katakan pada dirimu sendiri, ‘menjadi manusia baik salah satunya harus melewati yang ini’. Lalu kemudian semua terjadi berulang kali.
Mengalah bukan berarti kalah, bila kau melihat melakukannya adalah sebuah kemenangan. Tetapi ketika itu telah menjadi kebiasaanmu, bagaimana itu bukan sebuah kekalahan? Dan kemudian kau tertunduk di bawah langit kelabu. Bertanya, ‘mengapa harus aku, lagi-lagi?’
Aku meyakini tidak lah mudah menjadi ‘si baik hati’ di segala musim. Menjadi ‘si penyabar’ di segala kenyataan. Menjadi ‘si bodoh’ di segala kebahagiaan milik orang lain. Maka dari itu, Tuhan menciptakan perasaan agar kita bisa merasakan apa yang ‘baik’ dan bagian ‘buruk’ mana yang harus ditinggalkan. Tapi meninggalkan yang satu ini terkadang terasa seperti menghianati diri sendiri.
Seorang anak perempuan kecil berlari ke arah ibunya, merengek sebuah logam 500 rupiah untuk membeli sebutir permen. Lalu sang ibu berkata, kau telah menghabiskan 2 butir 500 sepanjang siang, dan itu belum cukup? / aku bukan menghabiskannya ibu, aku baru menggunakan sebutir 500 dan sebutir 500 yang lain hilang./ lalu sang ibu memanggil sang kakak, berapa butir 500 yang kau punya? Sang kakak dengan semangat bicara, aku punya 2 butir yang utuh ibu!/ kalau begitu beri satu butir untuk adikmu./ Tapi ini punyaku, sebutir yang kupunya ingin kusimpan di celengan babiku. Dan aku tidak ingin menghilangkannya./ Sang Ibu bertolak pinggang lalu berucap, Ini bukan permohonan, ini perintah. Adikmu menghilangkan satu miliknya. Dan kau masih punya dua. Dan ibu tidak berniat mengeluarkan butir lain yang baru.
Saya punya adik. Saya tau ‘mengalah’ yang telah banyak ‘kakak’ berikan pada adiknya. Mereka mungkin melakukannya karena terpaksa. Mereka merasa terpaksa melakukannya, karena mereka belum mengerti. Tapi itu bukan terpaksa, jika pada akhirnya kau benar-benar melakukannya. Bagiku tidak ada yang terpaksa dalam hidup ini. Semua yang terjadi adalah sebuah porsi yang harus kau makan dengan baik, agar tak merusak pencernaanmu.
Semua yang berani mengalah adalah seorang pahlawan. Tetapi semua yang terjebak di dalamnya bukan lah pahlawan yang jelek. Mereka cukup baik untuk melalui hidup. Hingga akhirnya mereka akan bahagia dengan porsi-nya.
Jika sudah terlanjur terjebak, dan tidak ada jalan keluar. Bukan berarti kau tidak bisa menciptakan bahagia di tempat yang lain. Kau hanya perlu belajar berkata ‘tidak’ sewaktu-waktu. Dan bilang, ‘Ini giliranku. Kau hanya perlu menunggu hingga giliranmu datang kembali.’
Lalu kau hanya perlu mensyukuri karena kau punya cadangan 'pengertian' melebihi orang-orang disekelilingmu. Dan ketika mereka tak cukup menghargainya, Tuhan masih melihatmu. Mungkin terdengar bodoh--tapi percayalah menjadi pintar juga bukan hal yang melulu bahagia.
batas rindu
Sedang kangen.
Jangan tanya pada siapa. Jika kangen saja butuh alasan, saya akan berpikir dua kali untuk mencintai. Karena cinta dan kangen adalah sepasang bubuk kopi dan susu di dalam bungkus kopisusu sachet. Siapa yang sanggup memisahkan butiran-butirannya. Mereka ada, untuk diseduh dengan hangat air. Ada untuk dinikmati.
Bukan untuk dipertanyakan.
Bukan untuk dipertanyakan.
Sedang kangen.
Baiklah, kualamatkan kangen ini padamu. Kutitipkan pada pak pos, dengan menulis di tepian amplopnya, ‘ter-untuk kamu’.
Tapi Pak pos bilang, aku butuh menuliskan alamatnya, agar kelak bisa sampai. Embun dikeningku muncul setiap memikirkannya.
‘alamat?’ tanyaku kembali
‘tentu nona.’ Begitu mudahnya dia menjawab. Begitu terbalik buatku.
‘bapak tahu Tuhan tinggal di mana? Yang kutahu Dia di dalam hatiku. Perlukah aku menulis hati di sana? Karena dia sedang bersama Tuhan.’
‘apa?’ kini justru giliran kening pak pos yang mengembun mendengar jawabanku.
‘lupakan, biar kutitip pada merpati di mimpiku saja.’ Kurenggut kembali surat itu dari genggamannya.
Sedang kangen padamu, sedang melakukan hal bodoh yang sama. Berulang-ulang dan tak juga bosan.
Apa kau baik di sana? Apa menyenangkan sekali berada di antara bintang-bintang? Sedang aku di sini, masih saja bermimpi tentangnya.
tentang bintang-bintang itu, memilah, yang mana yang sedang kau singgahi.
Berharap bisa jadi kupu-kupu malam ini, terbang mendekatimu... walau tak mungkin sampai.
Kau benar, semua yang 'hidup' memiliki keterbatasan. Bahkan tentang sebuah 'kerinduan'.
Subscribe to:
Posts (Atom)